Abd. Aziz
Analis Politik, dan CEO Firma Hukum Progresif Law, Sekretaria Jenderal Dewan Pengurus Pusat Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK)
Pagelaran debat publik Pilgub Jatim kesatu, bertema “Transformasi Sosial dan Peningkatan Sumber Daya Lokal untuk Kesejahteraan Masyarakat Jawa Timur” usai sudah dilaksanakan KPU pada Jumat 18 Oktober 2024 di Graha Universitas Negeri Surabaya. Setidaknya, penulis mencatat beberapa hal yang menunjukkan daya pikat dan kharisma seorang Khofifah mulai memudar.
Jika menyimak penyampaian visi, misi, dan aksi program tiap pasangan calon, yang memiliki komitmen pada pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah Paslon 03, yakni Risma-Gus Hans. Dengan mengusung cita-cita penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) melalui transparansi anggaran, dan sikap anti korupsi dalam rangka menjaga integritas. Hal tersebut cukup mencuri perhatian publik karena berkorelasi positif dengan keriuhan komisi anti rasuah dalam menyapu bersih Provinsi Jawa Timur.
Pada sesi tanya jawab calon Gubernur, ada sikap yang menarik dari Khofifah saat bertanya soal program kesehatan terhadap Risma. Nada suara Khofifah cukup rendah, tampak permisi (excuse me) atau mohon izin (permisif) hingga diucapkan 3 kali. Misalnya, “Kepada Paslon nomor urut tiga, kami mohon bisa memberikan pendapat”. Kemudian, saat merespon jawaban Risma tentang kondisi masyarakat Madura yang masih kekurangan air, dan warga Sumenep harus berobat ke Surabaya, Khofifah beberapa kali mengawali dengan kata: mohon izin Ibu Risma.
Secara leksikologi, kata “permisi” dan permintaan “izin” yang disampaikan Khofifah pada Risma, menunjukkan bahwa ia harus hati-hati bertanya dan merespon karena orang yang ada di hadapannya bukanlah sembarang penantang! Jika Khofifah percaya diri (confident) dengan apa yang telah diperbuat untuk masyarakat Jatim selama 5 tahun, tentu kata “permisi” dan permintaan “izin” itu tak perlu terlontar. Jika diamati, Khofifah sadar, seorang Risma bukanlah tokoh yang ahli mengolah kata, melainkan tipologi pekerja. Turun ke bawah, menemui dan berbincang langsung dengan masyarakat menjadi kebiasaan Risma. Gaya ceplas ceplos Risma dalam berbicara dengan data dan fakta, berpotensi menggerus aura positif Khofifah yang terpancar selama ini.
Sikap permisif Khofifah kali ini memantik pertanyaan publik. Mungkinkah sang petahana mampu mengulang kembali keberhasilan pada Pilgub 2018, yang menyisihkan Gus Ipul dari gelanggang politik? Kita tunggu 5 pekan ke depan di mana para kontestan berebut hati pemilih agar pada 27 November mendatang, hadir ke bilik suara, menggunakan hak pilihnya. Salah satu yang membuat Gus Ipul itu terjerembab, jatuh dalam kontestasi satu lawan satu (head to head) adalah dugaan adanya fatwa wajib (fardhu ain) memilih Khofifah.
Fatwa memihak salah satu kontestan itu menyebabkan Khofifah diserang keras karena dianggap menggunakan politik identitas. Dan, para kontestan Pilgub Jatim kali ini, ketiganya santri dan sama-sama pernah bergiat dalam ormas kegamaan terbesar, Nahdlatul Ulama’ (NU). Apalagi, sosok Gus Hans yang notabene Pengasuh Pondok Pesantren Queen Al-Azhar, Peterongan, Jombang dengan kualifikasi teologi keagamaan yang tak diragukan.
Luluk, mantan anggota DPR pada periode 2019-2024, tampak fasih mengevaluasi Khofifah selama memimpin Jawa Timur. Ia berpandangan, banyak program jalan di tempat dan tidak strategis. Misalnya, jembatan Suramadu belum menjadi sambungan Surabaya-Madura yang berimplikasi pada perekonomian masyarakat di pulau Madura. Setelah itu, Luluk-Lukman memberikan garis bawah tebal (bold), menyetujui gagasan Risma. Terutama soal karakter pemimpin yang me-niscaya-kan berintegritas. Antara janji dengan kenyataan harus paralel.
Bagi Risma, janji calon sorang pemimpin itu harus ditepati saat terpilih. Termasuk, pemimpin harus resik, bersih! Dengan demikian, tata kelola pemerintahan yang baik akan tercipta. Pernyataan terakhir ini menjadi pukulan telak karena mata publik sedang tertuju pada pemerintahan Jawa Timur yang sedang mengikuti ujian integritas yang digelar KPK. Lebih jauh, pasangan Risma (Gus Hans) menyebut bahwa, pendusta itu bukan hanya yang menyobek merah-putih. Melainkan, tuna integritas. Antara yang diucapkan dengan kenyataan tak berbanding lurus. Tidak amanah, dan tidak memberikan perhatian pada mereka yang terpinggirkan, ter-marginal-kan, dan terlupakan.
Risma juga memiliki perhatian serius pada Tembakau dan garam yang menjadi salah satu sumber mata pencaharian masyarakat Madura. Menurut Risma, harga tembakau yang kerap tak memihak pada petani, menjadi agenda Risma-Gus Hans agar kesejahteraan warga Madura meningkat signifikan. Selanjutnya, Risma dan Luluk menyoal keberpihakan Khofifah pada masyarakat pulau garam. Khofifah pun menjelaskan tentang program-program yang sudah dilakukan untuk pemberdayaan dan pemuliaan terhadap masyarakat Madura. Juga, menyebut angka kemiskinan yang mengalami penurunan.
Sejenak membaca data. Prosentase perbandingan masyarakat miskin di perkotaan dan pedesaan di Jawa Timur turun ke angka 9,79 persen. Hal tersebut diduga karena anggaran Bansos APBD Jatim (2023) Rp.19 miliar lebih untuk 13.188 orang dan postur anggaran Bansos di APBD (2024) Rp.27 miliar sehingga penerima Bansos naik sekitar 5.000 orang menjadi 18.000 ribu penerima, seperti dilansir Suarasurabaya.net, 17 Januari 2024. Sebaliknya, bila dilihat pada masyarakat miskin di pedesaan per Maret 2024, angka kemiskinan bertengger di 13,30 persen, dan rangking 3 kemiskinan dari 6 Provinsi di pulau Jawa, 9,79 persen (Kompas, 4 Juli 2024). Sedangkan Kabupaten termiskin di Jawa Timur ditempati oleh Sampang (20,83%), Bangkalan (18,66%), dan Sumenep (17,78%) sebagaimana dilansir BPS Provinsi Jawa Timur, 5 Agustus 2024.
Nah, secara tidak langsung, Risma meragukan pengakuan Khofifah yang sudah memuliakan masyarakat Madura dengan menyatakan bahwa, tiap turun ke Madura, masih banyak masyarakat yang tak memiliki air untuk pertanian, apalagi air bersih untuk konsumsi sehari-hari. Garam yang melimpah juga tak bisa diangkat sebagai industri garam yang berpengaruh pada kesejahteraan warga Madura. Risma hendak menegaskan bahwa, antara apa yang sudah dilakukan dan diakui sebagai keberhasilan bertentangan dengan fakta dan realitas di lapangan. Menunjukkan pertentangan (ambivalen), bukan?
Pada pernyataan penutup Risma, memberikan pesan agar Jawa Timur dikelola dengan baik dan benar melalui prinsip Resik-Resik Jatim. Gus Hans melengkapi dengan mengutip firman Allah SWT (Qs. Al-Maun), relevan dalam menggambarkan apa yang harus dikembangkan dan dimajukan untuk Jawa Timur, mengkonfirmasi bahwa, PDI Perjuangan tak salah menyandingkan Risma-Gus Hans yang merupakan aset kaum Nahdliyin yang sangat diperhitungkan. Risma dikenal sebagai birokrat yang jelas dan bersih, mengajak seluruh orang yang bekerja dengannya untuk jujur, toleran, dan giat menjaga keragaman warganya.
Dari panggung debat, terlihat kharisma dan daya pikat Khofifah mulai tergerus. Kehadiran Risma sebagai penantang, mulai mencuri perhatiannya sebagai lawan yang tak bisa diremehkan. Bukan apa-apa, Risma dikenal sebagai pekerja keras sejak menjabat Wali Kota Surabaya 2010 sampai 2020 hingga dinobatkan sebagai pemimpin terbaik dunia. Lawan politiknya boleh mengatakan, Risma berpengalaman memimpin satu Kota. Masih ada 37 Kota dan Kabupaten di Jawa Timur. Namun, harus di ingat, Kota Surabaya adalah Ibu Kota Provinsi dan jantungnya Jawa Timur.
Dari sini, Kans Risma-Gus Hans dalam memenangkan Pilgub Jatim cukup terbuka. Jika publik mencermati hasil polling kompas.com pasca debat calon Gubernur Jawa Timur, sungguh mengagetkan. Pasalnya, pasangan Risma-Gus Hans unggul 43 persen dari dua kandidat lainnya. Khofifah-Emil 37 persen, Luluk-Lukman 8 persen dukungan publik. Apalagi, polling yang digelar beritajatim.com di platform X lebih mengernyitkan dahi. Betapa tidak, Risma-Gus Hans memperoleh 44,9 persen suara, Khofifah-Emil 24,5 persen suara, Luluk-Lukman 30,6 persen suara. Praktis, petahana berada di titik terendah pada polling ini. Apa konfirmasi dari kedua polling di atas? Menunjukkan bahwa Risma-Gus Hans mampu mencuri perhatian publik karena solusi-solusi yang ditawarkan dalam mengatasi persoalan Jawa Timur.
Pada performa debat perdana, Risma mampu mencuri perhatian pemirsa, sedangkan Gus Hans sebagai pasangannya tampil dengan baik. Misalnya, apa yang dilakukan Gus Hans terkait wisata religi di Indonesia, mendapatkan pengakuan dari Emil, pasangan Khofifah. Tak mengherankan karena sosok Gus Hans bukanlah politisi anyar, bahkan memahami betul problem Jawa Timur berikut solusi-solusi alternatif yang aplikatif, dipaparkan dalam debat perdana Jumat lalu.
Sebagian besar publik bergumam, perhelatan Pilgub Jatim kali ini, tak lain pertarungan sosok Khofifah dengan Risma. Juga, jika ditarik pada 5 tahun ke belakang, pertaruhan seorang Khofifah dengan Gus Hans, Juru Bicara yang dengan kekuatan jaringan yang begitu kuat di seluruh daerah, telah berkontribisi mengantarkannya ke Grahadi satu. Apakah ada jaminan, petahana dengan mesin politik yang memadai, dukungan Parpol yang gemuk dan kekuatan biaya politik pasti memenangkan peperangan? Dalam teori perbandingan petahana melawan penantang yang berpengalaman dalam studi perbandingan kekuatan politik di Pilkada (Diki, Zulfa, 2020), tak ada jalan mulus ke sana. Bahkan, jika tak mampu menyuguhkan “pertahanan” yang baik, potensi kalah menganga di depan mata.
Tren survey Khofifah-Emil cenderung menurun dan Risma-Gus Hans merangkak naik. Misalnya, menilik hasil survey IndoPol yang, jika satu lawan satu _(head to head)_ dan Pilgub Jatim digelar dua pekan lalu, Risma-Gus Hans menempati 34,75 persen sedangkan Khofifah-Emil 46,38 persen. Selisih 12 persen! Padahal, masa kampanye masih menyisakan lima pekan. Artinya, ada waktu yang signifikan bagi Paslon nomor urut 03 untuk mengejar elektabilitas Khofifah-Emil. Dan, bukan tidak mungkin, Risma-Gus Hans berpotensi menyalip secara signifikan dan potensial menjadi kabar buruk bagi Khofifah dan Emil.