SOROTPUBLIK.COM – Generasi lawas adalah istilah yang diberikan generasi anyar. Namun, hal itu tidak mutlak. Karena yang anyar nantinya menjadi lawas. Begitu seterusnya. Yang abadi dalam dunia fana ini, salah satunya hanyalah perubahan.
Ketika Indonesia berdaulat, tak ada yang melebihi tokoh-tokohnya yang berandil langsung dalam proses naiknya bendara merah putih dan kumandangnya isi proklamasi dari bumi Jayakarta. Bung Karno merupakan tokoh utamanya. Pemerintahannya yang lebih 20 tahun itu merupakan masa paling gemilang dalam pandangan generasi yang hidup kala itu.
Namun, setelah Bung Karno tumbang, dan Pak Harto “naik tahta”, era Bung Karno dan tokoh-tokoh penting dalam lahirnya Indonesia berdaulat itu, tak lebih dari sekadar “Orde Lama”. Sebaliknya, sang jenderal memberi nama eranya dengan “Orde Baru”. Namun, itu pun pada akhirnya tumbang pula di tangan yang sama, yaitu perubahan.
Televisi dan Generasi Lawas
Televisi muncul dalam bentuk yang sederhana, dan cukup makan ruang. Warnanya juga hanya berupa hitam putih. Mungkin menjadi simbol warna kehidupan. Atau bisa saja teknologi masih belum menjangkau penambahan warna.
“Namun, karena baru ada gambar bergerak, dengan tampilan yang sangat sederhana, di awal adanya, televisi merupakan benda super mewah,” kata R. Muhlis, generasi lawas 1970-an, Sabtu (3/01/2020)
Dalam satu kampung misalnya, seperti di desanya Muhlis, ada satu warga yang punya televisi itu sudah sangat lebih dari cukup. Anak-anak usia SD, khususnya, dengan penuh kegembiraan bertandang ke sana. Meski hanya duduk di lantai yang dingin. Namun, gambar di televisi menghangatkan suasana masa kecil generasi lawas.
“Padahal acaranya tidak seramai sekarang. Dulu tak banyak macamnya. Menu terbanyak ya berita. Durasi tayang juga tak seperti sekarang yang 24 jam non stop,” imbuh Muhlis.
Era selanjutnya, tivi hitam putih ditinggal penggemarnya. Beralih ke tivi warna. Jumlah yang memiliki juga bertambah. Dalam satu kampung bisa lebih dari 5 orang. “Itu di waktu akhir 1980-an. Mau masuk ke 1990-an,” jelas Muhlis.
Nurul, anak generasi 1990-an merupakan salah satu anak yang beruntung. Di rumahnya sudah ada tivi warna meski hanya 14 inchi. “Wah, senang sekali. Sebelum orang tua bisa beli, kan biasanya menyasar rumah tetangga sama teman-teman. Biasanya di hari Ahad,” kata guru SD ini.
Lambat laun, teknologi tambah maju. Televisi tambah bening dengan aneka varian acara sekaligus channel. Televisi lantas menjadi alat perang dalam era industri. Persaingan makin ketat. SDM ikut berpacu. Mereka yang tak bisa mengikuti ritme saing, tumbang. Para jurnalis ikut kena getahnya.
Nah, kini, televisi hampir tak lagi laku, saat internet mulai menguasai dunia maya. Sistem baru muncul. Mendobrak kemapanan, dan sekaligus mengejek kebakuan sistem yang selama ini ada. Sistem alam dan bercorak jalanan.
Gadget, YouTube, dan Youtubers
Gadget atau secara sederhana merujuk pada perangkat terknologi yang berukuran kecil, mulai merambah semua kalangan, baik itu orang tua, remaja bahkan anak-anak.
Tidak bisa dipungkiri memang gadged seolah menjadi prioritas utama bagi mereka. Anak-anak misalnya, bisa menghabiskan waktu sampai berjam-jam dengan menggunakan gadget. Entah itu dengan bermain game online, membuka channel youtube, dan mencari bahan belajar bagi mereka sendiri.
Seiring arus globalisasi dengan tuntutan kebutuhan pertukaran informasi yang lebih mudah menyebar sekarang ini. Gadget sangat dibutuhkan dan berperan cukup penting bagi kita semua. Sekarang ini sadar atau tidak sadar media cetak sudah mulai ditinggalakan dan memang kita semua mulai malas untuk membaca dan membawa buku misalnya.
Sebab gadget sangat praktis dalam menyimpan tulisan-tulisan, serta bagi mereka yang membutuhkan waktu yang cepat untuk dapat mengakses berita dan informasi terkini. Karena majalah dan koran umumnya membutuhkan waktu satu hari hingga beberapa hari lebih lambat untuk mengakses berita yang sedang terjadi.
Penulis: Sidi Mufi Imam
Publisher: Kiki Ana Aniz