SUMENEP, SOROTPUBLIK.COM– Selain bisa dikata hewan ajaib, sapi juga merupakan hewan yang kental dengan banyak mitos. Di Hindustan, negerinya Shah Rukh Khan dan saudara setanah airnya, sapi merupakan hewan yang disucikan. Dalam hal itu terkait dengan kepercayaan agama tertentu di sana, yaitu Hindu. Sapi dilarang disakiti, apalagi sampai dibunuh, ataupun disembelih untuk dikonsumsi. Bisa terjadi perang besar di sana akibat hal itu.
Di agama lain, Islam misalnya, sapi juga merupakan salah satu hewan yang cukup istimewa, meski tidak seekstrem di negeri Hindustan. Kitab Suci Al-Quran bahkan memiliki salah satu surat terpanjang yang bernama Al-Baqarah, maknanya Sapi Betina. Sapi juga merupakan hewan utama dalam perintah berqurban. Selain daging, hewan ini juga menghasilkan susu.
Keajaiban sapi sebagai hewan yang banyak dikonsumsi manusia, khususnya di Indonesia ini, terletak pada populasinya yang tak pernah mengalami istilah kehabisan stok. Dalam setiap harinya ribuan sapi disembelih untuk dikonsumsi banyak orang. Padahal, hewan ini merupakan jenis hewan yang tak banyak sekaligus tidak cepat dalam proses regenerasinya. Pada umumnya, hewan ini hanya mampu melahirkan satu ekor anak sapi, berbulan-bulan pula. Meski dalam kasus tidak umum (kasuistik), ada yang melahirkan dua bahkan hingga tiga ekor.
Di Madura misalnya, dalam setiap hari, ratusan sapi dikirim untuk dijual. Belum lagi yang dikonsumsi masyarakat sendiri, baik untuk dijual, ataupun yang punya hajatan. Kendati demikian, para peternak sapi semakin banyak. Begitu juga para penjual makanan, atau pemilik warung, kedai dan restoran yang menyediakan menu daging sapi. Itulah sebabnya hewan ini dikenal sebagai hewan yang berkah.
Nah, sapi, bagi masyarakat Madura merupakan komoditas mahal. Ia bahkan menjadi ikon Pulau Garam dengan kemasan Karapan Sapi-nya. Begitu terkenalnya hewan ternak yang satu ini hingga setidaknya ada tiga tradisi di Madura yang tidak bisa tidak harus melibatkan sapi sebagai pemeran utamanya—paling tidak hingga dewasa ini; yaitu, Karapan Sapi, Sapi Sono’ dan Aretan Sapi.
Akar Sejarah
Sebelum masuk pada aretan sapi, mungkin tak ada salahnya jika bicara asal-muasal ketenaran hewan ternak yang di bumi Hindustan sana disucikan itu. Sapi selain dimanfaatkan dagingnya untuk dikonsumsi sebagai lauk pauk juga banyak bermanfaat bagi dunia tani. Hewan yang satu ini memang sering diambil jasanya untuk membajak sawah. Terlebih di Madura yang gersang dan tandus.
Saking tandusnya, sehingga konon, di zaman dulu, hampir tak ada orang Madura yang berprofesi sebagai petani. Hampir kebanyakan orang—apalagi yang memang dekat dengan daerah pesisir, memilih melaut untuk menyambung hidup. Hingga di abad 15, seorang alim besar dari negeri Kudus menginjakkan kakinya di bumi Raden Sagoro ini.
Alim besar dan sekaligus sosok berdarah biru itu putra penguasa Kudus. Beliau bahkan cucu seorang waliyullah agung di Kudus, yaitu Waliyyul ‘Ilm; Kangjeng Susuhunan Kudus. Alim besar itu bernama Sayyid Ahmad Baidlawi, atau yang dikenal dengan sebutan Pangeran Katandur.
Pangeran Katandur rupanya seorang pakar pertanian. Kondisi tanah Madura—khususnya Sumenep yang menjadi tempat singgah beliau—yang dikenal tak subur dan berkapur itu dinilainya perlu sentuhan ilmu agar bisa bermanfaat bagi petani.
Saat itulah, Sang Wali mengenalkan cara bercocok tanam (nandur) dengan menggunakan sepasang bambu (nanggala) yang ditarik oleh dua ekor sapi untuk membajak sawah. Cara baru ini efektif.
Sehingga di Sumenep, Pangeran Katandur di samping menyebarkan Islam juga mengajarkan cara bercocok tanam serta mengolah tanah dengan cara membajak dengan bantuan sapi. Tradisi ini lantas berkembang menjadi ungkapan rasa syukur pasca panen yang selalu berhasil sejak disebabkan mengikuti tata cara yang diajarkan Sang Pangeran. (Bersambung)
Penulis: Sidi Mufy Imam
Publisher: Kiki Ana Aniz