SUMENEP, SOROTPUBLIK.COM – Kicauan perkutut memang ajaib. Betapa tidak, orang yang memeliharanya selalu menunggu keluarnya “nyanyian gaib” itu tiap harinya. Ketika mulai mengalun cuitannya, rasa gembira dan puas sang pemilik terlukis dengan derai tawa lirih maupun senyum paling sumringah.
“Orang selalu mendengar kicauan burung perkutut. Bahkan melebihi ucapan manusia,” ujar Gus Dulla sambil tertawa.
“Jadi kalau ada manusia bicara tak didengar, berarti kalah sama perkutut,” imbuhnya, sambil terkekeh.
Satu hal lagi yang sempat dijelaskan Gus Dulla soal perkutut. “Salah satu keunikan burung ini, meski sudah mati atau menjadi bangkai, ia tidak berulat,” ujarnya.
Seperti disebut di tulisan bagian satu, budaya Madura memiliki akar sejarah panjang.
Ketika mencermati budaya Madura, maka acuan utamanya ialah sejarah. Tanpa melihat sejarah, maka akan sulit mencari akar budaya tertentu. Sementara sumber sejarah beragam, baik sumber lisan maupun sumber tertulis yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kembali pada sejarah, sejatinya kiblat budaya sekaligus pemerintahan Madura kuna terletak di Sumenep. Hal itu tersirat pada sebuah prasasti kuna di pintu Agung keraton Sumenep dalam bahasa Arab dan Madura kuna, yaitu Brahmono Hasmoro Hung Putri Hayu—yang berarti Brahmono = 6; Hasmoro = 8; Hung = 9; Putri = 1; dan Ayu = 1. Maknanya, susunan struktur susunan pemerintahan di Sumenep sudah ada sejak 1 Januari 986 Masehi.
Apalagi, Sumenep juga merupakan kabupaten tertua berdasar penetapan tanggal hari jadi di empat kabupaten di Madura. Berdiri pada dekade keenam di kurun 1200-an Masehi menunjukkan kota kecil ini bahkan lebih tua dari kerajaan Majapahit. Sehingga dengan kata lain, Sumenep merupakan pusat pemerintahan di dua masa kerajaan besar Nusantara sekaligus; Singhasari dan Majapahit.
Nah, dari uraian ini didapat fakta bahwa kebudayaan berkembang dari Sumenep dan kemudian menyebar ke seluruh pelosok di Madura, mulai dari Pamekasan, Sampang hingga Bangkalan. Namun, karena sejak mula Sumenep berada di bawah pemerintahan raja-raja di tanah Jawa, maka kebudayaan di Madura pada umumnya merupakan hasil pembauran dengan kebudayaan lokal. Pengaruh pembauran ini terus berkembang, seiiring dengan masuknya beberapa budaya luar. Seperti pengaruh Islam, budaya Arab, Cina, dan Eropa.
Dalam hal pembauran dengan Jawa, hal ini bisa dilihat dari tradisi sebelum prosesi perkawinan, yaitu sehari atau malam sebelum hari pernikahan. Tradisi ini hampir sama dengan di Jawa Tengah, hanya istilahnya saja yang beda. Tradisi yang di sana dikenal dengan istilah midodareni, di mana sang mempelai perempuan mengenakan busana bahasan seperti kemben. Dengan busana ini mempelai perempuan melewati serangkaian perawatan tubuh, seperti dilulur (elolor dalam bahasa Madura) dan rambutnya diasapi dupa yang wangi. Kemudian dilanjutkan sapuan bedak kamoridan, yaitu bedak bida yang sarat khasiat. Kemudian yang terakhir ialah meminum jamu khusus yang diyakini mampu membuat tubuh menjadi harum.
Begitu juga dalam falsafah katuranggan di atas. Meski ada beberapa poin yang beda, namun dilihat dari kajian singkat di atas, hal itu kemungkinan besar memang merupakan pengaruh falsafah Jawa. Perkutut misalnya, hal itu tercantum sebagai lambang dalam ajaran filsafah Jawa “Hastabrata“, yang meliputi Karyo (pekerjaan), Garwo (istri), Wismo (rumah), Curigo (keris), Turonggo (kuda), Kukilo (perkutut), Waranggana (pesinden, penyanyi), dan Pradonggo (gamelan).
Namun sejatinya, bukan masalah akar sejarah saja, namun saat ini budaya-budaya kuna itu sudah tidak lagi “terbaca”. Generasi saat ini tentu memiliki tanggungjawab untuk menuturkan kembali atau membuat hal itu terbaca kembali. Sebagai bentuk penghargaan akan warisan nilai-nilai luhur para leluhur. Sekali lagi, Jas Merah! (habis)
Penulis: Sidi Mufy Imam
Publisher: Kiki Ana Aniz