SUMENEP, SOROTPUBLIK.COM – Para leluhur selalu mewariskan banyak hal yang terselip dalam rupa simbol-simbol. Ada yang sederhana, dan terkadang agak rumit dipahami. Namun yang terkadang itu cukup dengan mencari penjelasan dari sesepuh yang bijak dan arif. Mengaji memang tidak bisa tanpa guru. Lalu bagaimana dengan istilah otodidak? Di samping yang sifatnya pengecualian (misal ilmu ladunni), belajar tanpa guru akan membutuhkan lebih banyak waktu. Untuk “sampai” akan memakan ratusan hingga ribuan proses. Padahal dalam skala normal (dengan pembimbing atau guru) proses yang mesti dilalui hanya cukup dengan hitungan jari, misalnya.
Kembali pada warisan leluhur. Meski banyak jumlahnya, ironisnya banyak yang tak lagi dipedulikan oleh generasi selanjutnya. Kearifan-kearifan lokal yang penuh dengan petuah bermutu tinggi, falsafah kuna yang mengandung pelajaran penting, dan tradisi-tradisi bernilai tinggi, merupakan beberapa di antara sekian banyaknya warisan leluhur yang kini sudah “direbut” zaman untuk digilas rodanya. Namun sekali lagi, siapa peduli?
Contoh misalnya piaraan tempo doeloe, kuda. Saat ini sudah jarang kita temui orang yang pelihara hewan kendara paling top di kalangannya itu. Itu untuk wilayah yang sudah masuk pinggiran. Apalagi yang di perkotaan. Mana ada lahan?
Di masa kuna dulu kuda merupakan satu dari beberapa jenis katuranggan. Simbol yang wajib dimiliki oleh seorang, yang dalam hal ini laki-laki, karena sesuai tradisi dan ajaran agama merupakan Imam bagi paling tidak anggota keluarganya.
Kesempurnaan bagi seseorang laki-laki terletak pada beberapa hal. Nah, itu dia yang disebut dengan katuranggan atau keturanggan kata lidah Jawanya. Dalam hal ini, memang kiblat tradisi di Madura hampir banyak ke arah Jawa. Mengingat banyak penguasa-penguasa Pulau Garam ini yang memang rata-rata memiliki darah raja-raja di Jawa. Dan ini memiliki akar sejarah panjang.
Dalam tradisi Jawa, di samping kuda, ada empat katuranggan lagi yang disimbolkan pada beberapa hal. Yaitu istri (pendamping hidup), keris pusaka, burung perkutut, dan terakhir gamelan (alat musik tradisional).
Untuk yang disebut terakhir ternyata, berdasar penjelasan salah satu sesepuh Keraton Sumenep, R. B. Abdullah, tidak masuk dalam katuranggan di Sumenep khususnya.
“Empat katuranggan; istri, keris pusaka, burung perkutut, dan kuda,” kata Gus Dullah, panggilannya, kepada sorotpublik.com yang berkunjung ke kediamannya di Kampung Saba, Desa Pangarangan, beberapa waktu lalu.
Perbedaan-perbedaan tersebut sejatinya tidak memiliki ruang untuk dibahas, apalagi sampai tuntas dalam kajian singkat ini. Dalam sumber lain, di tradisi Jawa, katuranggan yang wajib dimiliki seorang pria ada yang tak memasukkan gamelan di dalamnya. Meski jumlahnya tetap lima. Tidak empat, seperti kata Gus Dulla di atas. Jawa malah memasukkan rumah sebagai katuranggan teratas; wisma, wanita, turangga (kuda), kukila (burung), dan curiga (keris).
“Namun, Sumenep menegaskan burung itu yang berjenis Perkutut,” kata Gus Dullah.
Kenapa atau ada apa dengan perkutut? Hingga para sesepuh atau tetua dulu, dalam hal ini di Sumenep menjadikannya sebagai salah satu peliharaan utama.
Dalam kepercayaan kuna, burung perkutut bukan burung sembarangan. Ia dianggap burung yang istimewa, dengan sejuta mistis di dalamnya. Ia dianggap burung ajaib. Sesuatu yang di luar batas akal. Sehingga mencernanya dengan iptek, mungkin akan membuang waktu dan dianggap super percuma. Bagaimana tidak, orang tua itu percaya, burung ini, dengan kicauannya bisa mendatangkan setidaknya tiga hal yang didamba dalam hidup: rejeki, ketentraman, dan kebahagiaan. (bersambung)
Penulis: Sidi Mufy Imam
Publisher: Kiki Ana Aniz