SUMENEP, SOROTPUBLIK.COM – Kecamatan Kalianget memiliki empat desa serumpun. Serumpun di sini meliputi tradisi dan hubungan kekerabatan sekaligus genealogi. Empat Desa itu ialah desa Marengan, Kertasada, Karanganyar, dan Pinggirpapas. Tidak seperti tradisi rokat di beberapa desa kuna di Sumenep, ada dua istilah rokat di kawasan ini, yakni Rokat Pagan dan Rokat Jaring.
“Cuma waktu pelaksanaannya tidak sama,” kata Saleh, salah satu warga di Desa Karanganyar beberapa waktu lalu.
Menurut Saleh, tradisi rokat pagan ini diselenggarakan oleh para nelayan yang mencari ikan dengan sistem pagan, yakni memancangkan bambu-bambu untuk menjerat ikan. Pagan tersebut menurut Salehoddin tidak dijaga. Namun, keesokan harinya baru para nelayan memeriksa hasil tangkapan ikan yang terjerat dalam pagan.
“Jadi, tidak menggunakan perahu,” tambahnya.
Rokat pagan tersebut biasanya berlangsung dalam sepekan. Rokat juga biasanya akan ditutup dengan acara pertunjukan ludruk dari kelompok-kelompok dari dua kecamatan yang serumpun itu.
Lalu apa saja ritual dari rokat tersebut?
“Secara sederhananya rokat ini ialah sarana do’a. Jadi, ini merupakan tradisi sejak dulu kala yang biasa dilakukan para leluhur di sini agar usaha nelayan banyak mendatangkan untung. Sekaligus juga merupakan prosesi bersyukur pada Allah SWT atau segala karuniaNya,” jawab Saleh.
Sehingga, sejatinya rokat merupakan ritual pembungkus. Yang dibungkus ialah acara berdo’a dan selamatan. Unsur-unsur rokat juga tidak bisa dipisahkan dari agama Islam. Di sana ada pengajian, bacaan dzikir, dan juga memuat kegiatan shadaqah. Namun di Karanganyar juga ada unsur lain yang tidak berdasar tradisi dan ajaran Islam.
“Ada ritual adu ayam. Tapi di sana tidak disisipi taruhan atau judi. Ya, ini tetap berjalan. Karena memang sudah ada sejak dulu. sejak leluhur. Kami juga tidak mengerti maksudnya,” akunya.
Sementara Desa Pinggirpapas yang merupakan desa tetangga dari Karanganyar juga memiliki tradisi Rokat serupa yang bernama Rokat Jaring. “Ya sama pada hakikatnya dengan yang di Karanganyar. Tapi, kalau yang di sini nelayan jaring dan menggunakan perahu,” jelas Haji Abdul, salah satu tokoh di Pinggirpapas.
Benang Merah Nyadar
Menurut H. Abdul, secara garis besarnya, tradisi di kawasan empat desa serumpun di Kalianget ini ada tiga. Yakni Rokat Dhisa (desa: Indonesia), Rokat Tase’ (petik laut), dan Nyadhar.
“Cuma kalau nyadhar itu pusatnya di Desa Kebundadap, Kecamatan Saronggi,” katanya.
Berdasar cerita turun-temurun, Nyadhar bercikal bakal pada wejangan Anggasuto, sang penemu garam agar manusia tidak lupa pada Sang Pemberi rejeki. Kata Nyadhar sendiri berawal dari nadzar Anggasuto jika pada tanggal dan bulan panas matahari (musim kemarau) tahun pertama dari berhasilnya usaha garam tetap memberikan hasil, akan melakukan upacara tanda syukur.
Tata cara Nyadhar seperti yang diajarkan Anggasuto sangat bernuansa Islami. Seperti syarat bahwa Nyadhar tidak boleh dilakukan sebelum tanggal 12 Rabi’ul Awwal atau hari Maulid Nabi Muhammad SAW. Syarat lain, bahwa selamatan Nyadhar tidak boleh melebihi besarnya selamat Maulid Rasul. Di samping itu juga ada syarat bahwa peserta Nyadhar terlebih dulu diwajibkan untuk merayakan Maulid Nabi SAW sebelum merayakan Nyadhar.
“Tidak keluar dari koridor agama,” tambah Abdul.
Berawal dari Nyadhar ini, tradisi rokat dan petik laut ini muncul. Tradisi ini terus hidup dan melekat dalam rutinitas tahunan masyakarat kawasan ini. “Makanya dalam tradisi Nyadar itu, salah satu ritualnya harus dilakukan di Pinggirpapas. Karena memang di sinilah kampung halaman dan kediaman Onggusuto,” pungkasnya.
Penulis: Sidi Mufy Imam
Publisher: Kiki Ana Aniz