Oleh: Nikris Riviansyah
Seringkali kita membahas sebuah karya dalam setiap wacana yang disampaikan dalam pertemuan rutinan komunitas sastra malam reboan bahwa “setiap karya takkan lahir dari ruang yang kosong” artinya penulis itu seringkali dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman yang pernah di lalui serta buku apa yang pernah dibaca, ataupun dengan siapa mereka berkumpul (lingkungan). Sama halnya dengan beberapa karya yang sering lahir dari penyair asal madura Subaidi Pratama.
Banyaknya karya yang lahir dari setiap perenungan yang dilakukan oleh penyair asal madura tersebut ialah merupakan gambaran dari pengalaman yang sering di lalui, bahkan perenungan perenungan yang dilakukan oleh penyair muda ini seringkali melahirkan rangkaian kata-kata yang begitu estetik dalam melahirkan puisi puisinya, seperti puisi yang telah di tulis dalam esai ini
“Menjaga jarak” dalam karya ini terlihat bahwa karya yang lahir dari penyair merindukan sesuatu, dimana karya ini dipadukan dari hasil pembacaan dari buku “Trilogi Bumi Manusia”. Bagaiamana penyair mengemas suatu cerita kerinduan akan susuatu yang pernah dialaminya misalnya dalam bait bait pertama
“antara rantau dan lapang halaman rumah tak begitu jauh terbentang derita sejarah berjarak-jarak aku mendepa rindu bagai Minke kehilangan masa lalu”
bait diatas adalah ungkapan dari kerinduan yang terpendam dalam diri penyair, dimana penyair berusaha memainkan imajenasinya untuk masuk pada ruang yang pernah dilaui pada masa lalunya misalnya pada kalimat “antara rantau dan lapang halaman rumah” perantauan yang sedang di alami dirinya adalah sebuah derita tersebab begitu rindunya penyair pada kampung halamannya dimana kerinduan ini dipertegas oleh kalimat selanjutnya
“tak begitu jauh terbentang derita sejarah berjarak-jarak aku mendepa rindu bagai Minke kehilangan masa lalu”
eksplorasi dari permainan kata yang dilakukan oleh openyair telah menghasilkan karya yang sanggup menyulap pembaca untuk masuk pada pengembaraan imajenasi penyair, dengan pemilihan diksi yang begitu tepat sehinnga setiap bait yang dibangun dalam karya ini terlihat sublim, meskipun ada pembaca yang tidak mengerti atau tidak dapat menangkap pesan dari puisi ini secara keseluruhan minimal pembaca telah di ajak jalan jalan untuk menikmati keindahan bait perbait dari keseluruhan puisi ini. Seperti pada bait,
“mengingat tanah moyang serdadu Belanda mencuri ladang dendam yang kita tulis tak kunjung padam rindu kita terlukis pada setiap larik cerita Pram”
Penyair disini berusaha menceritakan tentang adanya kesamaan perjalanan dalam dirinya pada cerita Pram yang pernah di baca. Namun penyair merangkai dengan kalimat yang berbeda, kerinduan yang di ungkap pada bait di atas ialah menyampaikan maksud yang tersirat dari bahasa yang tersurat. Artinya penyair tidak menyampaikan bahasa yang mentah, pengalaman serta perjalanan yang sama dengan kisah Pram tersebut disampaikan dengan bahasa penyair yang begitu terdengar lembut seperti “rindu kita terlukis pada setiap larik cerita Pram”. Namun, penyair belum juga merasa puas menumpahkan kata-kata dalam kalimatnya, ia tetap saja mencari sesuatau yang baru seperti yang terlantun pada bait bait akhir dalam puisi ini “selepas itu, kucari yang tersisa tapi tak ada hanya sepoi angin menyenandungkan desau pilu”
meskipun pada akhirnya penyair di sini terlihat pasrah dan sudah terlihat lelah dengan pengembaraannya seperti bait terakhir yang disampaikan “aku dan Minke kembali ke lubuk kata-kata menggenggam waktu dan sebaris rindu ibu”
Pada puisi kedua yang berjudul “Pedang Naga Puspa” adalah bentuk puisi yang yang terilhami oleh filem terbaru “Pedang Naga Puspa” juga lahir puisi yang sama dimana kesukaan penyair terhadap filem ini telah melahirkan karya yang padat, namun memiliki pesan yang begitu dalam puisi naga puspa ini menceritakan makna kehidupan seorang penyair.
Kegelisahan dalam persoalan hidup penyair tertuang pada baris baris kalimat dalam puisi ini, seperti misalnya dalam baris “bertahun aku bertapa hingga matahari tua” makna “bertapa” dalam puisi ini sebenarnya adalah bentuk perenungan dan pemikiran pemikiran yang begitu dalam dari diri seorang penyair, proses pendewasaan dalam menghadapi segala persoalan hidup yang di alami penyair sehingga pada akhirnya penyair tahu bahwa segala sesuatu itu melalui tahapan proses, ujian dan ccobaan yang harus di lalui seperti pada bait kadua “naga melilit tubuh langit tuhan runtuh”
lalu dalam puisi pada bait teraikhir adalah kalimat penegas dan letak penyampaian pesan yang disisipkan penyair
“Nariratih, apa yang berharga dari kesaktian selain pusaka iman”
Pada hakikatnya penyair inngin memberi tahu, bahwa petualangan hidup yang di lakukan pada waktunya akan kembali (mati). Pada titik itulah titik terakhir dimana puncak kehidupan itu hanya akan terselamatkan oleh pusaka iman, pengembalian hati, kepercayaan, serta penyerahan diri kepada tuhan. Jadi suasana yang di bangun pada puisi ini adalah penyadaran diri bahwa tak ada harta ataupun pusaka yang berharga dalam hidup kecuali iman.