Berapa tahun terakhir, Asia Tenggara menghadapi permasalahan penting adanya suatu fenomena berkurangnya minat seseorang untuk menikah dan memiliki anak atau dapat disebut resesi seks.
Thailand maupun Singapore sedang menghadapi fase tersebut, dimana hal ini ditandai dengan penurunan drastis dalam aktivitas seksual di kalangan populasi dewasa muda bahkan tua, bisa juga dikatakan hal ini disebabkan karena adanya sistem lonjakan kerja ataupun pengamanan finansial, yang kemudian permasalahan tersebut telah menjadi isu sosial dan ekonomi mengancam stabilitas regional.
Fenomena ini tidak hanya berimbas pada aspek pribadi dan jalinan masyarakat, tetapi juga berdampak terhadap dinamika sosial serta ekonomi.
Di tengah situasi tersebut, negara-negara anggota Asean mulai menyadari, bahwa resesi seks bisa berdampak negatif pada produktivitas tenaga kerja, pertumbuhan populasi, dan kesejahteraan sosial, akan tetapi keanehan pun muncul dikala penyebab resesi seks di beberapa negara Asean adalah adanya lonjakan dari poin-poin diatas.
Lalu, Indonesia sebagai negara pemegang populasi terbesar di kawasan Asean, tentu Indonesia tidak menutup kemungkinan akan menghadapi tantangan global tersebut.
Muncul suatu pertanyaan, bagaimana sikap Indonesia terhadap resesi seks yang menyerang pada garis Asean?,, dan bagaimana jika nanti permasalahan tersebut sudah memasuki gerbang Indonesia?.
Langkah-langkah pro-aktif apa yang akan diambil oleh pemerintah dan masyarakat untuk menghadapi tantangan global tersebut serta menjaga kesejahteraan stabilitas sosial dan ekonomi negeri ini?.
Jika dapat menelisik lebih dalam, resesi seks merupakan fenomena yang disebabkan beberapa faktor inti yang tentu memiliki efektifitas dalam mempengaruhi secara global.
Seperti halnya perubahan dan tuntutan gaya hidup, lalu faktor ekonomi dengan adanya tuntutan biaya hidup yang tinggi, sehingga menciptakan suatu pemikiran untuk tidak menyentuh pernikahan, karena membangun ketidakstabilan perekonomian dan tentu hal ini dinilai dapat merusak frekuensi suatu aktivitas intim atau seksual.
Lalu mind game ala media sosial yang tentu hal ini juga memepengaruhi suatu hubungan secara langsung para manusia atau tatap muka untuk berinteraksi, dan kemudian dengan adanya terpaan Equality sekaligus penyimpangan orientasi seksual (LGBT) yang kerap kali merusak adanya suatu nilai dan normal sosial manusia pada umumnya, serta penyebab selanjutnya adalah serangan kesehatan mental seperti depresi, stress pasca-trauma, ADHD, dan tak jarang pengidap Factitious atau penyakit mental buatan yang memiliki dampak terhadap kontribusi serta niatan manusia normal pada umumnya untuk memiliki gairah hidup berkeluarga.
Indonesia memang bisa terbilang masih jauh dari bencana resesi seks, tetapi hal ini juga bukan tidak menutup kemungkinan akan menghadapi fenomena tersebut.
Secara statistik angka pernikahan di Indonesia dapat dikatakan merosot selama enam (6) tahun terakhir, dimulai dari tahun 2018 angka pernikahan menyentuh dua (2) juta, pada tahun 2023 menyentuh 1,5 juta, dimana data tersebut cukup signifikan dalam angka penurunan.
Contoh angka penurunan drastis termasuk beberapa provinsi besar atau padat penduduk di DKI Jakarta sebanyak empat (4) ribu, Jawa Barat dua sembilan (29) ribu, Jawa Tengah merosot dua puluh satu (21) ribu dan Jawa Timur menurun hingga tiga belas (13) ribu, meskipun dalam hal ini beberapa provinsi justru mengalami peningkatan.
Jika dalam kalkulasi persentase yang dikelola oleh BPS, persentase hingga saat ini yang belum menikah di Indonesia menyentuh kurang lebih 69%.
Hal ini disebabkan dengan kebutuhan eknomi dan biaya hidup yang semakin tinggi, bahkan tak jarang mereka menilai pernikahan sudah tidak penting, lalu permasalahan rumah tangga menghasilkan masalah internal maupun eksternal, sehingga kesulitan untuk mencakup berkeluarga.
Melihat data tersebut langkah pemerintah tergolong acuh ta acuh, dimana dengan lahirnya kekhawatiran pada generasi saat ini, khusunya pada Gen-Z terbilang minim sekali dalam pandangan untuk berkeluarga di kemudian hari, yang bisa menyebabkan suatu tantangan ekonomi dan sosial yang sulit untuk ditangani nantinya.
Jadi pada intinya dengan adanya suatu pemahaman yang lebih baik, Indonesia diharapkan dapat mengambil langkah proaktif dan preventif untuk menghadapi tantangan resesi seks guna menjaga stabilitas sosial serta memastikan pertumbuhan serta perkembangan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Sehingga dengan adanya Langkah dan sikap proaktif dari pemerintah maupun dari keluarga dan lingkungan sekitar diharapkan dapat merngatasi serta menghadapi tantangan global terkait resesi seks di gerbang depan Asean.
Penulis : Ayatullah Mumtazi
Editor : Heri