Oleh: Rara Zarary*
Pemahaman tentang gender jelas berbeda dengan jenis kelamin. Karena itu dalam wacana publik tentang kesetaraan gender pada sebagian kalangan telah mengalami kekeliruan. Di antaranya anggapan bahwa gender merupakan sesuatu yang menyebabkan perempuan menjadi lupa pada kodratnya, gender sebagai upaya perempuan melangkahi peran laki-laki, gender sebagai intervensi budaya asing yang akan merombak tatanan budaya harmonis Indonesia antara perempuan dan laki-laki, dan wacana gender hanyalah wacana seputar perempuan, sehingga laki-laki tidak perlu terlibat di dalamnya.
Pemahaman semacam itulah yang terjadi di masyarakat kita, beranggapan bahwa gender itu hanya berkutat pada perempuan yang meneriakkan suara meminta keadilan dan kesetaraan dengan laki-laki. Padahal dalam hal ini perempuan bukan ingin menyulap dunia untuk digenggapnya sebagai penguasa dan laki-laki bisa ditindas seenaknya. Akan tetapi lagi-lagi ini masalah pandangan sebelah mata kaum primitif yang benar-benar salah memahami ajaran yang terkandung dalam agama dan pemahaman soal budaya, bahwa sampai kapan pun perempuan tetap di rumah, cukup menjadi ibu rumah tangga dan istri yang taat suami, tak lebih dari peran tersebut.
Yang terjadi, marginalisasi kaum perempuan tidak hanya terjadi di tempat kerja, tetapi juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat, atau bahkan negara. Subordinasi perempuan terjadi karena adanya anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak dapat tampil untuk memimpin, mengakibatkan munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting sehingga terciptalah pelecehan terhadap kaum perempuan seperti tindak kekerasan terhadap perempuan dan ketidakadilan gender. Hal ini terjadi karena adanya stereotipe terhadap perempuan sebab adanya anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami (laki-laki).
Dalam teori feminis, hubungan-hubungan sosial di dalam kerja baik dari aspek kognitif, afektif, maupun pembagian berdasarkan jenis kelaminnya, dibentuk berdasarkan gagasan gender yang ada dalam masyarakat (Munir, 2010). Selain Munir yang menjabarkan tentang teori feminis, Nugroho (2011) menjelaskan feminis dari segi psikonalisis. Menurutnya ketertindasan para perempuan berakar dari psikenya terutama dari cara berpikir perempuan. Kelompok feminis ini menyatakan bahwa ketimpangan gender terjadi disebabkan pengalaman masa kecil yang membuat perempuan melihat dirinya sebagai feminin dan laki-laki sebagai maskulin.
Atas dasar konsep tersebut, sampai saat ini masih marak terjadinya ketidakadilan gender baik dari segi perlakuan, peran, atau fungsi perempuan dan laki-laki itu sendiri. Salah satu ideologi terkuat yang lahir dalam rangka menyokong perbedaan gender adalah masalah pembagian dunia ke dalam wilayah publik dan privat. Wilayah publik yang kita ketahui itu terdiri dari pranata publik, negara, pemerintahan, pendidikan media, dunia bisnis dan lain sebagainya, semua hal yang baru saja disebut nyatanya sampai saat ini masih banyak didomisili oleh kaum laki-laki. Sedangkan para perempuan hanya sekadar diberikan suatu jabatan yang kurang penting dan ironisnya keberadaannya pun dianggap berbeda dengan laki-laki dalam hal pekerjaan. Padahal jika dilihat secara kinerja, perempuan juga memiliki ruang nilai yang cukup bagus dan bertanggungjawab terhadap apa yang menjadi tugasnya.
Padahal sebenarnya, perempuan merupakan salah satu tonggak sukses para suami dan ibu yang sukses untuk anak-anaknya, akan tetapi perempuan dipandang sebelah mata dalam hal pendidikan. Sehingga jarang sekali ada perempuan yang tuntas dalam pendidikan tinggi. Akibatnya ketika perempuan masuk ke ranah sosial, dia dipandang rendah karena dianggap tidak berilmu dan tidak berwawasan tinggi layaknya laki-laki yang memang dianggap lebih rasional dan lebih hebat dari pada para perempuan.
Dalam konteks kehidupan sosial yang lebih luas, marginalisasi perempuan pun dijumpai dalam dunia kesehatan, ekonomi, politik, dan hukum. Hal ini terjadi karena adanya stereotipe yang ditancapkan kepada mereka. Laki-laki dipersiapkan untuk menjadi tiang keluarga, sedangkan perempuan hanya sebagai pengurus rumah tangga, kalaupun perempuan bekerja, hasilnya dianggap tambahan. Akibatnya pendidikan perempuan dinomorduakan, posisi subordinasi tersebut memosisikan tugas-tugas kerumahtanggaan dan pengasuhan anak kepada perempuan. Ada hal batasan yang pantas dan tidak pantas dilakukan oleh perempuan dalam menjalankan tugas-tugas rumah tangga.
Selain itu, perempuan menerima beban ganda, selain harus bekerja di sektor domestik, mereka masih harus bekerja membantu suami dalam mencari nafkah. Hal ini tidak terlepas dari konstruk budaya patriarki yang beranggapan bahwa perempuan tidak punya hak untuk menjadi pemimpin rumah tangga. Sebaliknya, ia berhak untuk diatur. Pekerjaan domestik yang dibebankan kepadanya menjadi identik dengan dirinya sehingga posisi perempuan sarat dengan pekerjaan yang beragam macamnya, dalam waktu yang tidak terbatas dan dengan beban yang berlipat, misalnya memasak, mencuci, menyetrika, menjaga kebersihan, dan kerapian rumah, membimbing anak-anak, dan membantu suami mencari nafkah.
Begitulah kenyataan yang terjadi pada perempuan-perempuan yang ada di lingkungan masyarakat kita. Maka akan sangat wajar jika pada suatu hari akan ada perempuan-perempuan yang memilih loncat pagar karena hak-hak mereka benar-benar dikungkung oleh orang-orang yang berada di sekitar mereka sendiri. Karena perlu kita pahami kembali hakikat manusia hidup di dunia ini adalah mencapai suatu kepuasan dalam usaha mereka. Begitu pula yang terjadi pada perempuan, mereka hanya ingin ikut berekspresi, mereka ingin ikut andil dalam membangun perekonomian negara, mereka juga ingin ikut andil dalam usaha pembangunan nasional.
Berdasarkan beberapa keinginan perempuan di atas, seharusnya masyarakat sudah saatnya melepas jauh-jauh pemikiran kolot tentang kekeliruan pemahaman gender yang hanya diidentikkan dengan perempuan berikut setiap peran dan fungsinya yang disepelekan. Sudah saatnya masyarakat membiarkan dan memberi kesempatan terhadap semua organ-oragan tubuh perempuan dan laki-laki sama-sama berperan dan berfungsi dengan baik untuk hidupnya, keluarga, juga negara. Sehingga dengan hal ini Indonesia akan maju. Sebab perempuan pun pasti memiliki ide-ide cemerlang dalam pembangunan negara dan perempuan juga pasti mampu menyeimbangi perannya dengan laki-laki pada umumnya, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan dalam kehidupan lainnya.