Oleh : Zamrud Khan ,Deputi Investigasi Korupsi (DPP-GMPK)
Ditahannya seorang pejabat negara anggota III Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia ( BPK-RI ) Prof. Dr. Achsanul Qosasi, CSFA, CFrA oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) mengejukan banyak pihak tidak terkecuali masyarakat Madura khususnya Kabupaten Sumenep.
Dugaan penerimaan aliran dana 40 Miliar tersebut berkaitan pada kasus BTS Kominfo, penahanan dan penetapan tersangka itu dapat berdampak kepada semua aset kekayaan yang beredar atau berada dibeberapa daerah tidak terkecuali aset yang berada di Kabupaten Sumenep.
Hal ini apabila Kejaksaan Agung nantinya menerapkan Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), apabila jika kita berbicara pencucian uang atau Money Loundry setidaknya berdasarkan atau dilansir dari Jurnal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditulis oleh Joni Emirzon, sebagai Guru Besar Hukum Bisnis Unsri mengatakan, setidaknya ada 3 (tiga) proses Pencucian Uang yakni Penempatan (Placement), Tranfer (Layering) dan menggunakan harta kekayaan (Integration).
Dari ketiga proses pencucian uang tersebut diatas memiliki tujuan khusus dan yang paling umum adalah praktek kotor dalam rangka menyamarkan asal usul uang seolah berasal dari aktifitas legal, agar bisa kita lebih jelas lagi maka perlu kita ketahui lagi tentang penempatan Itu apa?.
Penempatan ini adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana kesistem keuangan seperti penempatan dana pada bank, membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah seperti pemberian kredit atau pembiayaan (mengubah kas menjadi kredit).
Selain itu juga membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk kepentingan pribadi, berikutnya tahap transfer dengan metode ”Layering” atau penyiasatan, nah jika tahap “Penempatan” berhasil dilakukan/dilaksanakan maka tahap berikutnya adalah melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana yang semula berasal dari kejahatan.
Biasanya praktek ini antara lain transfer dana dari satu bank ke bank lain antar wilayah atau negara, dan memindahkah uang lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell Company (perusahaan company).
Selanjutnya pada tahap integrasi adalah kegiatan akhir dari suatu proses yang panjang dalam “pencucian uang” yang merupakan uang hasil kejahatan yang telah “Dicuci” menjadi (tampaknya) uang bersih/legal sehingga dapat diinvestasikan kedalam sistem keuangan dan perbankan yang berlaku sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh dan besar biaya yang harus dikeluarkan.
Secara prinsip pada tahap ini tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang, sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman.
Dari perspektif kejahatan Money Loundry atau pencucian uang menurut penulis dikatagorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime) selain kejahatan narkoba dan terorisme.
Selain daripada itu kejahatan Money Loundry ini berkaitan erat dengan lalu lintas keuangan dan perdagangan.
Perkembangan teknologi juga telah memicu perubahan modus operandi kejahatan dimana kegiatan ilegal bersembunyi dibalik kegiatan yang bersifat legal yang sering dilaksanakan oleh suatu organisasi kejahatan (Organized Crime).
Dalam konteks perkembangan kegiatan pencucian uang atau Money Loundry merupakan bentuk kegiatan baru dan tercanggih dibidang lalu lintas keuangan dan perbankan.
Oleh karenanya dalam pertimbangannya pada undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan Pemberantasan tindak pidana pencucian uang, salah satu pertimbangannya sebagai berikut; bahwa tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945.
Dari sinilah penulis ingin menyampaikan, bahwa pelaku-pelaku tindak pidana pencucian uang ini modusnya sangat rapi dan profesional sekali dalam melakukan modus operandinya, sehinggah seolah kegiatan itu merupakan aktifitas legal.
Selanjutnya tindak pidana pencucian uang itu tidak hanya terjadi dilevel pusat saja, tetapi juga di level daerah seperti tingkat Kabupaten/Kota.
Sebagai contoh saja kasus Bupati Hulu Sungai Utara ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus pencucian uang, belum lagi kasus pencucian uang pada level kepala dinas di tingkat kabupaten seperti keterlibatan dua kepala dinas terkait kasus pencucian uang Bupati Probolinggo dalam hal ini oleh KPK dibidik atas dugaan penerimaan Grativikasi dan TPPU.
Nah dalam perkembangan masyarakat modern ini modus-modus kejahatan itu selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman misal saja kejahatan dengan motif ekonomi maka suatu barang/aset hasil tindak pindana ini merupakan ‘darah segar’ (blood of the Crime).
Artinya dianggap darah bagi berlangsungnya aktifitas kehidupan kejahatan pencucian uang dan tidak hanya itu juga melibatkan kejahatan kerah putih (white collar crime) orang-orang terpelajar bahkan menjadi suatu kejahatan serius yang terorganisir (well-organized crime) oleh karenanya kejahatan ini tergolong kejahatan yang luar biasa.
Dalam contoh nyata misal ada pejabat negara, penegak hukum mulai level pusat hinggah daerah mampu memeliki aset atau harta melimpah dengan modus memakai nama-nama orang yang seolah tidak memiliki hubungan dengan pihak pejabat negara atau penegak hukum pelaku Money Loundry, dan salah satu ciri khas kejahatan ini adalah bagaimana kejahatan tersebut yang tadinya illegal tidak sah berubah setatus menjadi legal serta para pelaku itu kecenderungannya menampilkan kehidupan kesederhanaan sebagai kamuflase belaka, agar tidak tampak ke publik.