Penulis: Q Agus/Kiki
BANDUNG, SOROTPUBLIK.COM – Sejumlah orang tua di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, mengeluhkan kebijakan sistem Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Pasalnya, akibat kebijakan tersebut anak mereka tidak bisa menggapai cita untuk masuk ke sekolah yang diinginkan di tahun ajaran 2019-2020 ini.
Salah satu keluhan disampaikan oleh Zaelani. Ia menceritakan anaknya yang termasuk 10 besar siswa terbaik di sekolah, terpaksa tak bisa masuk sekolah yang diinginkan karena adanya sistem Zonasi PPBD.
“Tadinya anak saya didaftarkan ke SMKN Katapang, karena ini memang merupakan keinginannya. Tapi dengan adanya zonasi, anak saya mau tak mau harus taat dengan peraturan tersebut,” ungkapnya, Rabu (19/06/2019).
Memang diakui Zaelani, penerapan zonasi bertujuan untuk kepentingan wilayah, agar masyarakat bisa cerdas dan pintar dengan merata. Tapi secara personal, itu dianggapnya merugikan wilayah-wilayah tertentu.
“Seperti Desa Cilame, Kecamatan Kutawaringin, tidak ada SMU/K. Jadi harus lintas wilayah, dan harus menunggu kekosongan kuota sekolah,” tuturnya.
“Kalau tidak terpaksa masuk sekolah swasta. Karena walau bagaimanapun kami berkeinginan anak-anak kami bisa meraih cita-citanya melalui perolehan pendidikan,” imbuh Zaelani.
Hal yang sama dialami Rosita, warga Kecamatan Cangkuang. Ia berharap anaknya bisa melanjutkan di SMP Negeri Soreang.
Namun, ia mengetahui kalau itu tidak bisa dilakukan. Hanya saja karena anaknya bersikeras ingin ke sekolah itu, ia memaksakan diri berharap anaknya bisa diterima.
“Saya berharap pihak sekolah bisa mempertimbangkannya, mengingat anak saya termasuk 10 besar di sekolahnya. Lagian sekolah favorit di Kabupaten Bandung sangatlah terbatas,” tuturnya.
Sementara Dika di kesempatan yang sama mengungkapkan, kebijakan tersebut bisa diindikasikasikan pembodohan publik. Alasan Dika, dengan adanya keterbatasan melalui penerapan zonasi, bisa mempengaruhi psikologis anak dalam pembelajaran.
“Dan itu sudah sering terjadi. Anak yang dahulunya pintar menjadi biasa-biasa dikarenakan faktor keinginan bersekolah di tempat favorit harus kandas karena faktor zonasi,” ungkapnya.
“Kalau ngomong dengan dinas terkait, jelas mereka akan memberikan alasan akademisi karena terikat sumpah jabatan. Penjelasannya pun bisa dikatakan masuk akal walau tidak melakukan verifikasi ke lapangan dampak dari penerapan zonasi itu,” tutup Dika.