SUMENEP, SOROTPUBLIK.COM – Kendati dalam daftar urutan penguasa Sumenep disebutkan nama, lokasi pusat kekuasaan, sekaligus masa berkuasa, namun hampir tak ditemukan bekas bangunan Keraton Sumenep, pra Keraton yang masih berdiri tegak di Kelurahan Pajagalan, kecuali di Kelurahan Karangduak.
Itu pun konon sudah berubah konstruksi. Yakni kini menjadi lokasi Asta Sabu, yaitu komplek pemakaman keluarga Raja Tumenggung Kanduruhan dan generasi setelahnya.
“Namun mengenai hal itu masih perlu dikaji ulang, karena dalam kajian ahli cagar budaya tidak ditemukan bekas yang mengarah pada struktur bangunan keraton,” RB Muhlis, anggota keluarga keraton Sumenep, Sabtu (28/12/2019).
Di komplek itu dimakamkan anak dan sekaligus cucu Tumenggung Kanduruhan. Makam Sang Tumenggung di area barat kubah. Sementara kubah (congkop) menjadi peristirahatan Pangeran Lor dan Pangeran Wetan, dua anak Kanduruhan.
Tepat di depan mulut kubah sebuah makam yang dikenal sebagai makam Kiai Wangsadumetra, manteri kesayangan Pangeran Lor yang turut gugur saat peristiwa perang dengan Bali.
Kembali pada bangunan keraton. Di lokasi keraton yang saat ini menjadi bagian Museum sejarah Sumenep, ada dua bentuk bangunan, yang di masanya berfungsi sama.
Bangunan pertama ialah Keraton Ratu Tirtonegoro, yang dibangun sang Ratu dengan suaminya, Bindara Saut alias Tumenggung Tirtonegoro. Sebuah bangunan kecil menghadap ke Selatan.
“Sebenarnya lebih mirip rumah. Dan memang itu dalem (rumah; red)) sang raja. Karena yang menempati ialah raja (rato; red), maka disebutlah keraton,” jelas Muhlis.
Beberapa waktu lalu, tim cagar budaya dari Jawa Timur melakukan penggalian untuk mengetahui dasar bangunan keraton Tirtonegoro itu. Diketahuilah jika sejatinya bangunan itu lebih tinggi dari permukaan tanah dibanding saat ini.
Di masa Panembahan Sumolo, putra Bindara Saut sekaligus penguasa kedua dari dinasti terakhir (1750-1929 M), dibangunlah bangunan keraton yang lebih luas di sebelah timur keraton lama. Yaitu yang memiliki pendapa, sumber mata air (taman sare) dan pintu gerbang yang disebut Labang Mesem.
Bangunan keraton lama tak lagi digunakan. Namun di masa Sultan Abdurrahman, tepat di depan keraton lama dibangunlah kantor yang disebut kantor Koneng. Belanda yang curiga lantas membangun sebuah kantor di depan keraton baru, yang kemarin menjadi kantor Disbudparpora. “Sekarang beralih fungsi lagi,” kata Muhlis.
Bangunan keraton baru meski sebagian besar masih original, namun ada juga beberapa bagian yang sudah kehilangan bentuk aslinya. Kini, bangunan itu masuk dalam perawatan keluarga besar Keraton Sumenep yang diwadahi Yayasan dan Wakaf Panembahan Sumolo.
“Tentang keraton ini sejatinya perlu diluruskan lagi mengenai banyaknya info-info liar yang tidak sahih. Ke depan diharap ada semacam rujukan sahih, sehingga sejarah tidak dibelokkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” tutup Muhlis.
Penulis: Sidi Mufi Imam
Publisher: Kiki Ana Aniz