Penulis: ND/Kiki
JAKARTA, SOROTPUBLIK.COM – Fraksi Partai NasDem DPR RI mendorong penggantian UU No. 8 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut diwujudkan dengan kajian melalui Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan di ruang rapat Fraksi NasDem Gedung Nusantara I DPR RI.
Dalam kesempatan itu, Wakil Ketua Fraksi NasDem DPR RI Zulfan Lindan mengungkapkan, upaya penggantian UU Mahkamah Konstitusi (MK) telah berjalan di Komisi III DPR RI.
“Komisi III DPR RI telah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum untuk meminta masukan para pakar. Rapat Kerja atau Raker dengan pemerintah dalam rangka penyampaian keterangan Presiden atas RUU MK juga sudah dilakukan pada Mei lalu,” kata Zulfan di Jakarta, Rabu (10/07/2019).
Sementara itu, berbagai fraksi saat ini tengah mengerjakan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Fraksi NasDem sendiri telah mengangkat beberapa isu krusial mengenai MK, meliputi rekrutmen hakim, masa jabatan hakim, kekuasaan kehakiman, dan putusan MK.
“Sejalan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, telah banyak berbagai Putusan MK yang menyebabkan perubahan besar terhadap UU MK. Namun demikian, UU MK juga memiliki permasalahan berkenaan seperti hukum acara karena pengaturannya belum lengkap dan komprehenshif sesuai dengan perkembangan hukum yang ada,” ungkap Zulfan.
Dalam FGD tersebut, Ketua MK Periode 2003-2008, Jimly Asshiddiqie menyebut usulan DIM yang dilakukan Fraksi NasDem sudah tepat.
“Masalah rekrutmen hakim ini sudah tepat sekali. Perlu dipertimbangkan apakah harus ditambah seperti di negara-negara lain, tapi yang jelas tidak mungkin dikurangi,” kata Jimly mengawali penuturannya.
Secara filosofis, keberadaan 9 hakim di Indonesia merupakan 9 tiang konstitusi yang berarti juga 9 jalan mazhab pikiran keadilan. Keberadaan jumlah hakim sebanyak itu, kata Jimly, menunjukkan bahwa keadilan tidak boleh tunggal, tetapi maksimal ada 9 pikiran keadilan.
“Kita tidak bisa menghadirkan keadilan sebagai 1 jalan. Boleh jadi 9 jalan keadilan dengan hakim sebanyak 9 orang. Intinya tidak boleh satu keadilan,” jelas dia.
Di dalam ilmu hukum, hal itu dijelaskan sebagai tradisi dissenting opinion. Tradisi dissenting opinion di Indonesia, kata Jimly, awalnya dilakukan di Pengadilan Tata Niaga. Walaupun pengadilan tersebut terkenal hanya di kalangan penguasaha saja.
“Jadi, boleh jadi yang pertama kali mengenalkan tradisi dissenting opinion adalah MK,” tegasnya.
Karena alasan tradisi itu, maka jumlah hakim sebenarnya tidak perlu ditambah. Tetapi mengenai proses pengangkatan dan masa jabatan hakim, ia menilai tetap perlu diatur.
Menurut Jimly, proses pengangkatan hakim MK harus diperjelas, apakah merepresentasikan “dipilih oleh” atau “dipilih dari”.
“Saya pengalaman dulu menyampaikan hal ini ke DPR. Tetapi, suasana yang saya rasakan waktu itu, saya malah dicurigai seperti ingin menjegal sesuatu. Padahal, maksud saya prinsip ‘dipilih oleh’ yang harus ditegaskan dalam pengangkatan hakim MK,” tuturnya.
Jimly menambahkan, dalam penggantian RUU MK ke depan harus mampu memberikan ketentuan bagi peraturan turunannya. Sebab, desain RUU MK sudah waktunya disusun secara lebih tajam dan komprehensif.
“Misalnya terkait dengan masa jabatan. Pada RUU MK nantinya, hakim itu cukup menjabat 1 periode saja. Karena dengan lebih dari satu periode hakim itu mudah mendapatkan keuntungan dengan jabatannya tersebut,” jelas Jimly.
Di samping itu, pembahasan RUU MK harus mengarahkan institusi MK kepada manajemen yang lebih baik. Jika meninjau pada proses penyelesaian perkara di beberapa negara, institusi seperti MK mampu menyelesaikan perkara hukum dengan kuantitas yang banyak.
Jimly mencontohkan, dengan keberadaan 9 hakim Hakim Agung, di Amerika Serikat (AS) mampu menyelesaikan 10.000 kasus per tahun.
“Pada waktu Presiden Trump ingin membuat keputusan mengenai imigra, Hakim Agung di sana mampu menyelesaikan permasalahan hukum dalam waktu 5 hari sampai dengan keluarnya putusan,” katanya menyebut satu contoh kasus.
Sementara di Jerman, dengan 2 chamber yang memiliki 18 hakim, dalam satu tahun mampu menyelesaikan 20.000 kasus per tahun.
“Sebanyak-banyaknya perkara di MK, tidak lebih dari 1.000 kasus per tahun. Dan, belum tentu selesai semuanya. Ini semata-mata urusan manajemen,” ujar Jimly.
Jimly pun berharap, dalam pembahasan RUU MK ke depan, Indonesia dapat memperkenalkan omnibus law. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus.
“Hal ini penting diujicobakan dalam pembahasan MK, karena tugas dan fungsi MK yang akan melakukan pengujian terhadap UU dalam kesesuaiannya terhadap UU lain dan UUD 1945, maka perlu memberikan dampak penyesuaian yang lebih luas,” terangnya.
Jimly mencontokan, di Jerman awalnya ada UU Shipping atau perkapalan. Ternyata dunia perkapalan banyak membuat para pelaut mengalami kawin-cerai di beberapa tempat. Kondisi ini membuat permasalahan dalam hukum keluarga. Maka ketika membahas RUU shipping yang baru, dalam pembahasannya juga dimasukkan revisi soal UU Perkawinan.
“Ini sebuah contoh yang ekstrim yang pernah terjadi, RUU Shipping tiba-tiba berkaitan dengan UU Perkawinan. Ini terjadi karena terjadi permasalahan sosial yang serius dalam hal itu,” ungkap Jimly.
Sebagai contoh tersebut, maka dalam pembahasan RUU MK perlu kembali diingatkan pada 3 tujuan hukum, yaitu: keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
“Banyak orang melupakan ketika membahas tujuan hukum itu adalah kemanfaatan. Hal ini memerlukan sebuah kearifan. Tidak cukup keadilan dan kepastian hukum, seharusnya tujuan kemanfaatan harus diangkat,” imbuh Jimly.
Maka, lanjut profesor bidang hukum itu, tujuan kemanfaatan dalam pembahasan RUU MK akan membalik adagium tegakkan keadilan walau langit runtuh.
“Menurut saya, justru tegakkan lah keadilan, karena langit tidak akan pernah runtuh,” pungkasnya.