SUMENEP, SOROTPUBLIK.COM – Sejak awal abad 18, kawasan Asta Tinggi hanya ada dua kubah. Yaitu Kubah Pangeran Pulangjiwa dan Kubah Pangeran Jimat.
“Jadi ya jangan dibayangkan saat itu sudah seperti Asta Tinggi saat ini. Belum ada pagar pembatas,” kata Ruska.
Baru di masa Panembahan Sumolo, putra Bindara Saot dibangunlah kawasan tersebut dan diberi nama Asta Tinggi. Pagarnya berupa susunan batu tanpa campuran perekat atau lolo. Konon itu merupakan karya waliyullah besar Sumenep dari Ambunten, yaitu Kiai Demang Singoleksono alias Kiai Macan.
Kiai Singoleksono ini adalah keturunan Pangeran Pulangjiwo. Ayah Singoleksono, yaitu Raden Demang Singowongso adalah cicit Pulangjiwo. Ayah Singowongso sendiri adalah Raden Demang Wongsonegoro, patih legendaris Sumenep di masa Pangeran Rama. Makam Wongsonegoro berada di komplek khusus di Asta Tinggi, yang dikenal dengan Komplek Asta Ju’ Bangsa.
Di masa Sultan Abdurrahman, putra Sumolo, bangunan Asta Tinggi diperluas. Yaitu bangunan Asta Raja di sebelah timur, yang hanya ada satu kubah. Pembangunan asta baru selesai di masa Panembahan Mohammad Saleh, putra Sultan.
“Peletakan piala di pintu gerbang Asta Raja itu di masa Panembahan Mohammad Saleh,” ujar Ruska.
Dijaga Oleh Prajurit Pilihan
Asta Tinggi sejak masa Sultan Abdurrahman (1811-1854 M) dipercayakan pada abdi dalem yang dikenal dengan istilah Kaji. Dengan kata lain, kaji merupakan sebutan bagi para penjaga asta sejak masa Sultan Sumenep. Kaji bukan sebutan untuk satu orang, namun satu kelompok.
Ada 8 kelompok berdasar pembagiannya, sehingga otomatis juga ada 8 kaji di kawasan Asta Tinggi. Nah, dari 8 kaji itu ada 1 pimpinan utama yang disebut Loloran atau disingkat Lora.
“Lora ini memiliki wakil yang disebut Kabajan,” kata Ruska.
Sebenarnya, menurut penuturan Ruska, dalam literatur yang lebih kuna, penjaga Asta Tinggi sudah ada sejak masa pemerintahan Pangeran Rama (1678-1709 M). Namun, sistemnya lebih tertata sejak masa Sultan Abdurrahman.
Penunjukan para kaji dan sekaligus lora itu dilakukan langsung oleh Sultan Abdurrahman. Mereka dipilih dari para prajurit yang setia dan pilih tanding. “Dalam hal teknis sekalipun, itu langsung berasal dari titah raja,” jelas Ruska.
Bahkan menurut Ruska, pada zaman para kaji dan lora itu hanya tunduk pada perintah raja, bukan pada yang lain. Apakah itu kerabat atau anak raja sekalipun, sehingga rahasia-rahasia yang terjadi di masa kerajaan tersimpan rapat.
“Dan sebagai imbalan kesetiaannya, mereka diberi tanah oleh sang raja dengan sistem hak pakai, yang diwariskan turun-temurun,” tambahnya.
Seperti yang diketahui, ada 8 kaji di Kompleks Pemakaman Raja-raja Sumenep atau Asta Tinggi. Yaitu Kaji Senga’, Kaji Buddhi, Kaji Nangger, Kaji Makam, Kaji Jhajabangsa, Kaji Jhaja Addur, Kaji Sekkar, dan Kaji Langghar.
Ke 8 nama tersebut jika dirangkai, maka bunyi dan maknanya dalam bahasa Madura ialah: “Senga’ sopaja’a ekataoe, jha’ e budina Asta Tengghi areya bada bungkana nanggher, e seddhi’anna nanggher bada kobhuranna oreng se abillai kajhajaan bhangsa tor abhillai agama. Iya sopaja esekkare, mon ta’ sempat, keba keyae soro duwa’aghi”.
Menjadi Lokasi Peringatan Perjuangan
Sebelum Taman Makam Pahlawan (TMP) Sumenep dipugar, pelataran di luar komplek utama Asta Tinggi biasa digunakan oleh pemerintah daerah untuk kegiatan seremonial, seperti renungan suci setiap Agustusan, dan upacara peringatan Hari Pahlawan.
Tahun 1960-an saat posisi Kepala Penjaga Asta Tinggi diduduki oleh R. B. Ibrahim, di sekitar komplek mulai diberi penghijauan. Menurut cucu Ibrahim, R. B. Ruska, yang ditanam berupa pohon cemara.
“Mungkin agar lebih teduh ketika digunakan untuk kegiatan seremonial itu,” jelasnya beberapa waktu lalu. (habis)
Penulis: Sidi Mufi Imam
Publisher: Kiki Ana Aniz