SUMENEP, SOROTPUBLIK.COM – Asta Tinggi, yaitu komplek Pemakaman Raja-raja di Sumenep, merupakan salah satu ikon utama kabupaten di ujung timur Pulau Garam ini. Keberadaannya yang satu paket dengan bangunan keraton di Pajagalan dan masjid Jamik di Bangselok, adalah merupakan karya monumental dinasti terakhir Sumenep (1750-1929 M).
Hingga detik ini, Asta Tinggi tidak pernah sepi dari peziarah. Baik yang sifatnya “berpariwisata” religi, maupun sekadar menikmati sisa kebesaran masa lalu tokoh-tokoh legendaris bumi Jokotole ini.
Berawal dari Kawasan Belantara
Komplek Asta Tinggi dahulu merupakan kawasan yang berupa dataran tinggi, dan hutan belantara. Kawasan itu dahulu tak berpenghuni. Menurut kisah sesepuh Sumenep, di sana kerap dijadikan tempat menyepi para tokoh-tokoh Sumenep.
“Raja (adipati; red) Sumenep sejak abad 17 sudah ada yang menyepi di sana,” kata R. B. Ja’far Shadiq, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep, beberapa waktu lalu.
Dalam catatan sejarah, yang disebut pertama kali ialah Pangeran Lor I. Sang pangeran ini memerintah Sumenep antara tahun 1562-1567 M. Beliau adalah putra Tumenggung Kanduruan, adipati Sumenep memerintah pada 1559-1562 M. Kanduruan ialah salah satu putra dari Raden Fatah, Sultan Demak pertama.
Di masa dulu, karena dataran tinggi, kawasan Asta Tinggi juga menjadi lokasi untuk melihat awal bulan. “Di tempat itu ada pohon Nangger yang dikenal dengan nama Nangger Pangongngangan. Dulu biasa dipakai orang untuk ngongngang atau melihat datangnya awal bulan,” cerita Nurul, juga pemerhati sejarah Sumenep.
Menjadi makam pertama Pembesar asal Jepara
Sesuai tertib penempatan makam, maka kubah pertama di bagian komplek Asta lama merupakan makam pertama yang ada di Asta Tinggi.
Makam itu ialah pasarean Pangeran Anggadipa. Mas Tumenggung Anggadipa, putra adipati Jepara ditunjuk oleh Mataram untuk mengisi kevakuman pemerintahan di Sumenep. Kala itu sang ahli waris, yaitu Raden Bugan alias Wongsojoyo (kelak bernama Tumenggung Yudonegoro), masih di bawah umur dan berada di Jawa.
Anggadipa memerintah di Sumenep sejak 1626-1644 M. Beliau menikah dengan putri Panembahan Lemah Duwur, raja Madura Barat. Meski pendatang, Anggadipa sangat dekat dengan rakyat. Rakyat bahkan sangat mencintainya. Demikian juga Anggadipa. Saking cintanya dengan Sumenep, bahkan saat selesai atau purna tugasnya sebagai pengganti kevakuman di Sumenep, ia tidak kembali ke Jepara hingga akhir hayatnya.
Anggadipa juga dikenal sebagai pembangun Masjid al-Mu’min atau Masjid Laju (Masjid Lama), di tahun 1639 M. Masjid ini merupakan masjid pertama di kawasan kota Sumenep. Dan berada di kelurahan Kepanjin saat ini.
“Setelah Anggadipa dimakamkan di Asta Tinggi, selanjutnya banyak raja-raja Dinasti Yudonegoro yang juga dimakamkan di sana. Salah satunya yang satu kubah dengan Anggadipa adalah Pangeran Pulangjiwo, salah satu raja Sumenep yang terkenal,” kata R. B. Ruska, Kepala Asta Tinggi. (bersambung)
Penulis: Sidi Mufi Imam
Publisher: Kiki Ana Aniz