SUMENEP, SOROTPUBLIK.COM – Area Pacangagan merupakan salah satu lokasi pemakaman umum di Kabupaten Sumenep yang banyak menyimpan jejak-jejak sejarah Sumenep masa lampau. Dahulu, area ini dikenal angker dan jarang dilewati orang, kecuali sebelum gelap malam dan untuk kepentingan ziarah atau pun kegiatan pemakaman.
Dewasa ini area yang berada di sekitar hampir separuh panjang Jalan Pahlawan, dan secara administratif masuk kawasan Desa Pandian ini mulai dibabat oleh para pemerhati sejarah dan “sarjana kuburan” (sarkub).
“Banyak tokoh-tokoh penting yang memiliki benang merah dengan sejarah Sumenep disemayamkan di lokasi ini. Salah satunya Raden Ardikusuma II,” kata R. B. Ja’far Shadiq, salah satu personel Tim Ngoser (Ngopi Sejarah). Sebuah komunitas para pemerhati sejarah yang concern melakukan penggalian para tokoh jaman dulu, sekaligus sebuah wadah diskusi cil-kecilan tentang sejarah dan budaya khususnya di ujung Timur Pulau Garam.
Siapa Raden Ardikusumo II ini, dan apa hubungannya dengan Soengennep Zaman Doeloe?
Dalam pantauan sorotpublik.com, komplek pemakaman tokoh yang diperkirakan hidup di pertengahan abad 19 ini tidak mencerminkan pusara orang besar ataupun tokoh terpandang di masanya. Lokasi yang berbaur dengan makam-makam umum, tanpa pembatas pagar ataupun ornamen tertentu yang menjadi ciri khas makam tokoh-tokoh penting di masa lampau, membuat kondisi makam ini sedikit tak terawat.
Orang sekitar, khususnya yang biasa membersihkan makam-makam di area Pacangagan itu tidak mengetahui siapa tokoh tersebut.
“Hanya beberapa yang tahu kalau makam ini memiliki keanehan. Beberapa waktu lalu, ada kambing yang digembalakan di sekitar makam, kakinya patah waktu melompati makam ini,” kata seorang penyabit rumput di sekitar makam Raden Ardikusumo II beberapa waktu lalu.
Setelah melakukan sedikit investigasi, termasuk mewawancarai beberapa orang yang sedikit banyak tahu, serta melakukan jelajah literasi, ternyata nama Raden Ardikusumo ada di Babad Songennep, karya Raden Werdisastra. Namun, di sana hanya menjelaskan bahwa Raden Ardikusumo adalah saudara seibu Panembahan Sumolo, Raja Sumenep. Yaitu sama-sama dilahirkan oleh Nyai Izzah.
“Jadi setelah Nyai Izzah dicerai Bindara Saot, beliau menikah lagi dan memiliki beberapa anak, salah satunya Raden Ardikusumo,” kata Iik Guno Sasmito, salah satu personel Ngoser lainnya.
Menurut R. Ayu Zainab, salah satu keturunan Raden Ardikusumo, tokoh yang dikenal di kalangan keturunannya dengan sebutan Gung Ardi itu ada dua. “Yang pertama ialah saudara Panembahan Sumolo yang bernama Raden Ardikusumo I. Lalu putra Ardikusumo kaping satu tersebut, yaitu Raden Ardikusumo II,” kata Jeng Zainab.
Ditambahkan Jeng Zainab, makam keduanya terpisah. Yang Raden Ardikusumo I dimakamkan di komplek Asta Tinggi. Sedangnya Raden Ardikusumo II dimakamkan di area Asta Pacangagan. “Menurut riwayat turun-temurun Gung Ardikusumo II ta’ kasokan (tidak berkenan; red) dimakamkan di Asta Tinggi,” tambahnya.
Karena berada di komplek pemakaman umum, banyak makam kuna yang tak teridentifikasi. Faktor tidak terawat, tidak adanya prasasti, hingga kerusakan parah dan hilang tanpa jejak, maupun faktor campur tangan generasi masa sekarang yang tidak sedikit suka menghilangkan unsur kekunaan.
“Alasannya untuk merawat dengan memperbagus kijing, namun sejatinya merusak situs. Karena merombak total dengan bahan baru. Seperti dikeramik dan lain sebagainya,” kata Ja’far.
Beruntung, pusara Raden Ardikusumo II masih cukup kuat meski tidak terawat. Di nisannya juga ada prasasti bertuliskan di antaranya “hadza al-qubr Rahadiyan Ardikusuma…”
“Identifikasi menjadi lebih mudah. Dan langkah selanjutnya ialah melakukan pelestarian dengan merawatnya sesuai petunjuk yang ahli,” kata Ja’far. (bersambung)
Penulis: Em Farmuz
Publisher: Kiki