Sorotpublik.com – Sumenep, Budaya kerapan Sapi Mdura, sangat dikenal oleh Publik bahwa kebudayaan ini menjadi Icon pulau Madura.
Lahirnya kerapan sapi di Madura nampaknya sejalan dengan kondisi tanah pertanian yang luas di Madura.
Suatu Ketika seorang ulama Sumenep bernama Syeh Ahmad Baidawi (Pangeran Katandur) yang memperkenalkan cara bercocok tanam dengan menggunakan sepasang bambu yang dikenal dengan masyarakat madura dengan sebutan “nanggala” atau “salaga” yang ditarik dengan dua ekor sapi, dan pada saat membajak disitulah mengajak masyarakat untuk membajak dan berlomba-lomba untuk lebih cepat.
Maksud pertamanya memang untuk menggarap lahan pertaniaan, namun lambat laun kemudian menimbulkan adanya tradisi karapan sapi. Karapan sapi segera menjadi kegiatan rutin setiap tahunnya khususnya setelah menjelang musim panen habis. Karapan Sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi musik saronen.
Hal ini diungkapkan oleh Wakil Bupati Sumenep,Achmad Fauzi ketika meghadiri pembukaan Lomba Kerapan Sapi di Pulau Sapudi.
“Dulu kerapan sapi itu dikenalkan oleh pangeran katandur di Pulau sapudi ini,” jelasnya.
Setelah masa panen tiba sebagai ungkapan kegembiraan atas hasil panen yang melimpah Pangeran Ketandur mempunyai inisiatif mengajak warga di desanya untuk mengadakan balapan sapi. Areal tanah sawah yang sudah dipanen dimanfaatkan untuk areal balapan sapi. Akhirnya tradisi balapan sapi gagasan Pangeran Ketandur itulah yang hingga kini terus berkembang dan dijaga kelestariannya.
Pada perkembangannya balapan sapitersebut berganti dengan kerapan sapi.
Jadi memang sepatutnya budaya kerapan sapi itu tetap dilestarikah oleh masyarakat Kabupaten Sumenep, karena memang hal ini muncul dari masyarakat sumenep sendiri.
“Jangan sampai punah lah budaya kerapan sapi ini,” Pungkas Wabub. (Rul/Fin)